PKB Desak DPRD Jember Bentuk Pansus Terkait Honor Pegawai Non-ASN

Jember – Ribuan pegawai non Aparatur Sipil Negara (non-ASN) mendatangi Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jember, Sabtu (08/03/2025), guna menyampaikan aspirasi mereka terkait honor yang tidak cair pada tahun 2025. Selain itu, mereka juga menyoroti ketidakjelasan status mereka setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).

Koordinator Honorer, Arjun Sutrisno Wibowo, menyatakan bahwa sebanyak 11.000 tenaga honorer Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jember terdampak akibat kebijakan ini. Dari jumlah tersebut, 2.000 orang telah lolos seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) paruh waktu, sementara 7.000 lainnya masuk dalam data Badan Kepegawaian Negara (BKN). Sisanya masih menunggu Surat Keputusan (SK) pengangkatan PPPK paruh waktu. sbobet

Menurut Arjun, para pegawai non-ASN yang belum mendapatkan kepastian status dan gaji mengalami kebingungan karena regulasi yang menaungi mereka belum jelas. Dalam pasal 66 UU ASN, disebutkan bahwa pegawai non-ASN harus diselesaikan penataannya paling lambat Desember 2024. Sejak UU ini diberlakukan, pemerintah daerah dilarang mengangkat pegawai non-ASN sebagai bagian dari ASN.

Ketua Komisi A DPRD Jember, Budi Wicaksono, berjanji akan mengupayakan solusi bagi para honorer dengan mengajak perwakilan mereka beraudiensi dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) serta BKN pada 19 Februari 2025. “Untuk mencari solusi terbaiknya, minimal tenaga non-ASN yang sudah masuk data BKN bisa terakomodasi semua (sebagai pegawai negeri), jangan bertahap,” ujarnya.

PKB Desak Pembentukan Pansus

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) secara tegas meminta DPRD Jember segera membentuk panitia khusus (pansus) untuk menyelidiki penyebab terhambatnya pembayaran honor pegawai non-ASN. Ketua DPC PKB Jember, Ayub Junaidi, menilai bahwa kebijakan pemerintah daerah yang merumahkan tenaga honorer sejak Januari 2025 justru semakin memperburuk keadaan dan berpotensi mengganggu jalannya pemerintahan di Jember.

“Sejak 2023, sudah ada aturan mengenai penyelesaian status honorer, dan pemerintah daerah diberikan waktu hingga Desember 2024 untuk menyelesaikan permasalahan ini. Kenapa beberapa daerah bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik, sementara Jember justru bermasalah?” tegas Ayub.

Ayub membandingkan Jember dengan daerah lain seperti Yogyakarta dan Surabaya yang dianggap lebih siap dan mampu mencari solusi bagi tenaga honorer. Ia mencontohkan bahwa pemerintah daerah di sana menggunakan skema belanja jasa untuk tetap membiayai pegawai non-ASN. “Ini bukti bahwa ada cara yang bisa ditempuh jika pemerintah daerah mau serius,” katanya.

Lebih lanjut, Ayub menuding Pemkab Jember lalai dalam menyusun perencanaan anggaran sehingga berdampak pada mandeknya gaji honorer. Menurutnya, masalah ini tidak akan terjadi jika pemerintah daerah sudah mengantisipasi sejak pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2025. sbobet88

“Kesalahan utama ada pada penyusunan database pegawai. Pemerintah daerah tidak bisa lepas tangan, bahkan untuk berkirim surat ke pusat pun. Ini jelas bentuk kelalaian,” ujarnya.

Meski begitu, Ayub menegaskan bahwa PKB tidak hanya menyalahkan pemerintah daerah, tetapi juga berupaya mencari solusi konkret agar para honorer yang dirumahkan mendapatkan kepastian. Ia menegaskan bahwa pembentukan pansus adalah langkah penting untuk mengungkap akar masalah ini. “Dengan adanya pansus, bisa ditemukan solusi yang tepat,” tegasnya.

Menurut Ayub, anggaran seharusnya bisa disesuaikan dengan skema belanja jasa agar pegawai non-ASN tetap bisa bekerja. Namun sayangnya, hal itu tidak dilakukan oleh pemerintah daerah sejak awal.

“Seharusnya pemerintah daerah lebih bijak dalam penganggaran. Jika aturan melarang pengangkatan honorer, sejak awal mereka seharusnya mencari solusi lain. Tapi faktanya, mereka diam saja,” kritiknya.

Ia juga mendesak pemerintah daerah untuk meminta maaf kepada para honorer. Menurutnya, kelalaian dalam perencanaan anggaran ini telah merugikan banyak pihak, terutama pegawai yang kehilangan pekerjaan.

“Kesalahan ini jelas ada di pemerintah daerah. Kalau sejak awal mereka mengantisipasi, masalah ini tidak akan terjadi. Sekarang tinggal bagaimana mereka bertanggung jawab,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *